SETELAH merdeka 68 tahun, sepanjang 68 tahun lamanya semua anak bangsa negeri ini melupakan dua Presiden Indonesia. Nama mereka ada dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tetapi dilupakan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Secara de jure dan de facto, kedua presiden itu memimpin Indonesia di masa-masa sulit.
Sjafruddin Prawiranegara dengan masa jabatan hanya kurang lebih tujuh bulan terhitung 19 Desember 1948 sampai dengan 13 Juli 1949 menjadikan Indonesia tetap tegak berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain di dunia. Tiga hari setelah menjabat presiden, tepatnya 22 Desember 1948, dia memproklamirkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan pusat pemerintahan di Payakumbuh, Bukit Tinggi-Sumatera Barat.
Pengambil-alihan kekuasaan pemerintahan itu bersamaan dengan masuknya Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Dalam pertempuran waktu itu, Belanda menyerang dan menguasai ibukota Republik Indonesia yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Pasukan Belanda berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, dan para pemimpin Indonesia lainnya.
Para pemimpin Indonesia kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kabar penangkapan itu didengar Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukit Tinggi, Sumatra Barat.
Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafruddin mengusulkan dibentuknya PDRI untuk meneruskan Pemerintah RI. Padahal, pada saat bersamaan, Soekarno-Hatta mengirimkan telegram berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.
Tetapi, telegram ini tidak sampai di Bukit Tinggi. Tanpa bermaksud merampas kekuasaan pemerintah dari Presiden Soekarno-Hatta, Sjafruddin telah berinisiatif mengambil-alih Pemerintahan RI. Dalam rapat di sebuah rumah Ngarai Sihanok di Bukit Tinggi-Sumatera pada 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government).
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.