Jakarta, JurnalDemokrasi.com – Statement Prof Jimly Asshiddiqie bahwa dengan merujuk pada UU 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman maka putusan MKMK dapat membatalkan putusan MK soal batas usia capres-cawapres dinilai sebagai pernyataan yang tidak rasional dan mengada ada.
Alasannya, selain karena putusan MK final and binding menurut UUD, juga Prof Jimly keliru menafsirkan ketentuan Pasal 17 UU Kehakiman.
Penilaian itu disampaikan pengamat hukum perbatasan Dr Yohanes Bernando Seran, SH, MHum di Betun, ibukota Kabupaten Malaka, Minggu (05/11/2023) petang.
Menurut Bernando, dalam memeriksa gugatan uji materiil soal batas usia capres-cawapres, Ketua MK Anwar Usman tidak memiliki hubungan sedarah atau semendah dengan Gibran.
“Seandainya ada hubunganpun gugatan tersebut tidak diajukan untuk Gibran an sich, apalagi oleh Gibran. Jika demikian, di mana putusan MK yang bertentangan dengan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman”, tanya Bernando.
Untuk pemahaman bersama dan sekadar mengingatkan Majelis Kehormatan yang diketuai Prof Jimly, kata Bernando, pengaturan tentang putusan MK final and binding itu diatur dalam konstitusi sebagai GRUNDNORM. Oleh karena itu, pengaturan dalam UU sebagai GEZETZE NORM tidak boleh melampaui atau mengurangi pengaturan dalam GRUNDNORM. Disinilah berlaku asas Lex Superior de Rogat Legi Inferiori.
“Bagaimana mungkin ada logika yang membenarkan bahwa UU Kekuasaan Kehakiman dapat menderogasi ketentuan UUD atau Konstitusi? Ini namanya justifikasi yang terbolak-balik”, tandas Bernando.
Lulusan Hukum Internasional Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengatakan, jika tetap terjadi putusan MKMK membatalkan putusan MK tentang batas usia capres dan cawapres maka dengan sendirinya putusan tersebut dapat diberlakukan prospektif untuk pencalonan presiden periode 2029 karena capres dan cawapres 2024 sudah didaftarkan dan dinyatakan lengkap persyaratannya oleh KPU.
“Putusan MKMK tidak bisa berlaku retroaktif. Dengan demikian dapat dikatakan putusan MKMK adalah ius constituendum dan bukan ius constitutum yang mempunyai kekuatan hukum dan mengikat”, jelas Bernando.
Mantan wartawan Harian Umum Berita Yudha Jakarta ini menjelaskan, dalam konteks hukum progresif, putusan MKMK bukanlah suatu jurispredensi yang harus ditaati karena MKMK bukanlah hakim tetapi hanyslah majelis kehormatan yang memeriksa etik hakim dengan putusannya limitatif hanya memberi sanksi teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian tidak dengan hormat.
“Di luar otoritas itu namanya penyalahgunaan wewenang ataupun dapat dikualifikasi sebagai kesewenang wenangan”, demikian Bernando. ***
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.