Oleh: Saiful Huda Ems, Lawyer dan Pengamat Politik, serta Dewan Penasehat dan Dewan Pakar di berbagai media massa online nasional dan daerah.
JIKA Jokowi hebat dan pengaruhnya besar, tentunya PSI akan jadi partai pemenang, karena PSI memajang fotonya Jokowi di baliho-baliho kampanyenya di seluruh penjuru Nusantara. Namun karena Jokowi sudah tak memiliki pengaruh apapun selain guyuran Bansos dan BLT-nya, maka suara PSI jeblok dan tidak bisa lolos ke Senayan.
Jokowi rupanya sangat paham dengan keadaan itu, makanya Jokowi melakukan berbagai kecurangan demi kecurangan sejak awal proses PEMILU. Aparatur negara dipaksanya untuk mengikuti arahannya, Kepala-Kepala Dinas dan Kepala-Kepala Desa dikerahkan untuk mendukung Paslon Capres yang didukungnya.
PSI yang suaranya jeblok dan tidak lolos ke Senayan, diusahakan masuk ke Senayan meski dengan suaranya yang sangat minim. Partai GOLKAR dipush untuk menjadi besar suaranya mengalahkan GERINDRA dan kalau bisa mengalahkan PDIP, atau sekurang-kurangnya nyaris menyamai suara PDIP.
Kenapa PSI harus diloloskan ke Senayan? Itu agar Jokowi tak kehilangan muka, karena PSI selalu mencitrakan diri sebagai partainya Jokowi. Selain itu juga agar anaknya Jokowi (Kaesang Pangarep) yang jadi Ketum PSI bisa punya kendaraan politik untuk nantinya jadi Cagub DKI Jakarta.
Terus kenapa Partai GOLKAR harus dipush agar suaranya lebih besar dari Partai GERINDRA dan sekurang-kurangnya nyaris menyamai suara PDIP? Itu karena Jokowi ingin menjadikan Partai GOLKAR sebagai kendaraan politik barunya setelah ia berkhianat pada PDIP dan sudah tidak punya pengaruh lagi di PDIP.
Partai GERINDRA juga dibuat suaranya lebih rendah dari Partai GOLKAR. Ini agar nantinya jika Prabowo sudah resmi menjadi Presiden, Prabowo tidak sewenang-wenang pada Jokowi dan putranya, yakni Gibran Rakabuming Raka, sebab Jokowi sudah punya kendaraan politik baru dan suaranya lebih besar dari Partai GERINDRA yakni Partai GOLKAR.
Budiman Sudjatmiko yang berada di kubu Prabowo, secara tak sadar mengatakan bahwa Prabowo nantinya yang akan mengendalikan pemerintahan, dan bukannya Jokowi. Pernyataan ini sekilas memang benar dan normal, sebab bagaimanapun setelah Jokowi tak lagi menjadi presiden, maka Prabowolah yang akan menggantikannya.
Namun pernyataan Budiman yang seperti itu, di mana KPU belum juga memutuskan secara resmi siapa Capres-Cawapres yang menjadi pemenang, maka pernyataan Budiman itu bisa dianggap sebagai bentuk ungkapan keraguan dan kegelisahan dari kubu Prabowo, yang kuatir nantinya Prabowo akan dikendalikan oleh Jokowi setelah Jokowi tak lagi menjadi presiden.
Jokowipun tentunya sangat bisa menangkap sinyal-sinyal pembangkangan Prabowo dan kubunya itu pada Jokowi di masa depan, karenanya Jokowi nampaknya telah melakukan langkah-langkah antisipasinya untuk mencegah agar semua itu tidak terjadi, di mana kelak Jokowi setelah tak lagi menjadi presiden, Jokowi akan terhina dan dianggap sebagai orang biasa yang suaranya tak perlu didengar dan diperhitungkan.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.