Opini  

Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 Kehilangan Sifat ‘Final and Binding’

Avatar photo
Reporter : Redaksi Editor: Cyriakus Kiik

Oleh: Petrus Selestinus, Koordinator PEREKAT NUSANTARA dan TPDI

SAAT ini Mahkamah Konstitusi (MK) dirusak hingga dijuluki Mahkamah Keluarga karena sembilan Hakim Konstitusi-nya tersandera kemandiriannya oleh perilaku Hakim Konstitusi Anwar Usman. Hakim ini memiliki konflik kepentingan dalam mengadili perkara No. 90/PUU-XXI/2023 Tentang Uji Materiil Pasal 169 huruf q  UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu terhadap UUD 1945.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Belum selesai dengan label Mahkamah Keluarga, kini Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mulai dicoba diintimidasi pihak lain di luar MK.

Pernyataan Jubir Partai Gerindra Munafrizal Manan dalam keterangan tertulis yang diterima beberapa Media pada Kamis, 27 Oktober 2023, mewanti-wanti Ketua MKMK Prof. Jimly Asshiddiqie agar tidak membuat gaduh dalam memutus hasil pemeriksaan Etik sembilan hakim konstitusi, sembari mengingatkan bahwa putusan MK itu final dan mengikat sehingga tidak bisa dibatalkan, ini sebagai konklusi yang sesat dan membodohi publik.

Ini adalah bentuk pemaksaan kehendak untuk mengintervensi MKMK dalam memroses laporan pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang juga ipar Presiden Jokowi dan sekaligus paman Girbran dan Kaesang (putra Presiden Jokowi).

Padahal, Partai Gerindra seharusnya tahu bahwa putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, itu ibarat bayi yang lahir mati. Alasannya karena pada saat amarnya diucapkan Anwar Usman maka saat itu juga putusan MK dimaksud langsung berstatus sebagai putusan yang tidak sah karena melanggar norma Pasal 17 ayat 5 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Secara norma, hanya ada dua alasan yang membuat Putusan MK kehilangan sifat final and binding, yaitu:

Pertama, jika Ketua Majelis Hakim Konstitusi tidak memenuhi ketentuan Pasal 28 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003, yaitu Putusan MK diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dan Pasal 28 ayat (6), tentang MK, yang menyatakan, “tidak terpenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (5) berakibat putusan MK tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Baca Juga :   Buya Syakur dan Fikih Gender