Opini  

Rivalitas: Budaya Baru yang sedang Bersemi di Malaka

Avatar photo
Reporter : Redaksi Editor: Cyriakus Kiik

Oleh: Benyamin MaliDiaspora Malaka Jakarta

ORANG Malaka itu terkenal dengan adat budaya ”Sabete-Saladi, Hakneter-Haktaek, Hadomi-Haklaran”. Tetapi begitu Malaka menjadi sebuah Daerah Otonom (Kabupaten) pada  2013, terlebih-lebih sejak Pilkada Perdana pada 2015, budaya luhur ini mulai perlahan-lahan luntur tergerus ’politik pilkada’ yang memecah belah masyarakat atas berbagai ’kubu-politik’; budaya ini seketika hilang dari ingatan mayoritas masyarakat Malaka; masih diwacanakan dan dipraktikkan sebagai ’tradisi leluhur’, namun sudah mengurang kewibawaanya dalam menata perilaku keseharian masyarakat Malaka.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Lahirnya kubu-kubu politik selanjutnya melahirkan mentalitas ”bersaing” satu sama lain lewat berbagai cara: halus maupun kasar, lisan maupun tertulis, nyata maupun samar-samar, karena perbedaan pandangan dan kepentingan politik. Semua perbedaan itu terkait erat dengan ”kursi-jabatan-kekuasaan” dan semua hal lain sebagai turunannya.
Bersemilah budaya ’RIVALITAS’ berdasar ’mental-kuasa’ itu yang dibalut rapi dengan slogan-slogan ’PRO-RAKYAT’, untuk dan demi rakyat.

RIVALITAS ANTARA ORANG MALAKA

Budaya ’rivalitas’ antar kubu-kubu politik yang ’memecah belah masyarakat’ itu sedang bersemi dan bertumbuh subur di Malaka, dapat kita lihat dengan mata telanjang dalam pola relasi sosial antara orang-orang Malaka, mulai dari tingkat ’mikro’, lalu ’mezzo’ (menengah) hingga ’makro’. Tahap mikro mulai dari orang perorang (individu), keluarga (keluarga inti, keluarga besar, suku), orang-orang se-desa di 127 Desa Malaka; lalu kelompok-kelompok mikro berkembang menjadi kelompok ’mezzo’ yang meliputi orang-orang se-kecamatan di 12 Kecamatan Malaka. Akhirnya akumulasi masyarakat di 12 kecamatan itu melahirkan kelompok ’makro’ yang meliputi seluruh masyarakat se-Kabupaten Malaka.

Di mana-mana (di kebun, sawah, kantor, sekolah, tempat kerja, pasar, tempat judi BG dan sabung ayam), orang bicara ’politik’, baik terkait politik pembangunan daerah dan politik pilkada maupun politik nasional. Orang Malaka berkata : ”blitik sa’e rai”, artinya ”Rai Malaka sedang demam-politik”.

Perbincangan politik diwarnai dengan ”sin malu, sadi malu, se’ek malu, sui sai malu, soran malu, ha’hat malu, de’an malu, haklelek malu, trata hat malu, hamoe malu, haroun malu, dan lain-lain”, yang semuanya bersifat ’mendiskreditkan, merendahkan, menyepelekan, menjelekkan, meng-afker-kan’ pihak tertentu, justru karena ada ”TAN NO TAN”, karena ada ”udang di balik bakmie”, ada ”kepentingan politik” dan ada ”agenda tersembunyi”. Semua ini berpotensi menimbulkan aksi-aksi ”premanisme” oleh aktor-aktor politik dadakan yang picik pikirannya.

Orang-orang sekeluarga besar yang seketurunan, mereka yang dulunya akrab sebagai saudara, sekarang mulai ’saling bermusuhan, tidak lagi akur satu sama lain sebagai saudara, tidak lagi saling sapa-menyapa, kunjung-mengunjungi, undang-mengundang kalau ada hajatan untuk sekadar tolong-menolong dan bergembira bersama, bahkan telepon-menelpon pun, tidak’. Termasuk di dalamnya urusan-urusan terkait adat-istiadat seperti: perkawinan, kematian, bangun rumah, dan lain-lain. Alasannya apa? Rumput yang bergoyang di pinggir sawah mengatakan: ”HANYA karena beda pilihan politik, beda kepentingan politik.” Perbedaan ini begitu mendarah-daging hingga meresapi sumsum-sumsum tulang orang Malaka, karena perbedaan itu terkait dengan ”HIDUP… PERUT…PIRING-NASI”, dan siapa sudi jika dapurnya tidak lagi BERASAP, dompetnya tidak lagi BERISI, motor dan mobilnya tidak bisa lagi terisi BBM? Tidak ada yang SUDI!
Akibatnya, sadar atau tidak sadar, identitas budaya khas Malaka: ”SABETE-SALADI, HAKNETER-HAKTAEK, HADOMI-HAKLARAN” tergerus dan tenggelam dalam keseharian hidup masyarakat. Budaya leluhur yang luhur ini perlahan-lahan layu, tidak lagi menguasai alam pikir, hati, dan emosi orang Malaka dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kalaupun masih terdengar, bunyinya pun sayup-sayup nyaris tak terdengar, karena ditutupi oleh kenyaringan suara ’politik-perkubuan’ yang dibesarkan dengan ’loud-speaker’ media-media sosial.

Baca Juga :   Balada PWI dan KPK di Lingkaran Kekuasaan

RIVALITAS MENJELANG PILKADA

Hingar-bingar pemilu legislatif dan pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden 14 Februari 2024 tidak terlalu menjadi ’isu sentral’ di Malaka. Memang pemilu legislatif dan pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada 14 Februari patut juga diberi perhatian karena dampak politiknya yang menyeluruh bagi eksistensi dan kemajuan bangsa dan negara menjelang Pesta Emas 100 Tahun Kemerdekaan pada 2045.

Isu yang lebih sentral dan sexy di Malaka – menurut hemat saya – adalah PILKADA MALAKA, November 2024. Begitu sentral Pilkada Malaka bagi masyarakat Malaka, maka tidaklah mengherankan jika kubu-kubu politik ini mulai memanaskan mesin politik masing-masing. Salah satu mesin politik perkubuan ini adalah media-media sosial: Facebook, Instagram, YouTube, TikTok, dan media-media sosial yang dikelola oleh tokoh-tokoh politik tertentu.

Pemicu dasarnya ialah ’ketidak-puasan’ terhadap kepemimpinan Malaka saat ini yang dinilai BURUK, LEBIH BURUK, bahkan SANGAT BURUK. Di samping pemicu dasar ini, datanglah pemicu kedua yaitu berita ”kembalinya sang mantan ke panggung politik Pilkada Malaka, karena masih tetap merasa diri pantas bahkan lebih pantas, mampu bahkan lebih mampu memimpin Malaka”.

Kerinduan hati yang membara akan kembalinya si mantan mengobarkan api semangat ”Bandung Lautan Api”. Semangat ’rivalitas’ yang dalam 3-4 tahun menjadi seolah ”api dalam sekam”, kini mulai berkobar, bahkan berkobar-kobar menjilat ke segala arah hingga menguasai hati, pikiran, dan perasaan sebagian masyarakat Malaka yang mengidolakan si mantan. Lalu mereka mulai beramai-ramai mengumandangkan di berbagai kesempatan dan di media-media sosial, syair lagu ”Bandung Lautan Api” : ”MARI BUNG REBUT KEMBALI!”.

Pemicu ketiga adalah kabar munculnya ”calon-calon baru” yang menilai diri ”LEBIH” : lebih pintar dan cerdas, lebih mampu, lebih siap dan lebih taktis-strategik dalam mengelola Kabupaten Malaka hingga dalam waktu 5 tahun kepemimpinan mereka, Kabupaten Malaka sungguh-sungguh LAKA TEBES, tampil BEDA dari induknya BELU dan kabupaten-kabupaten ”tua” lainnya di daratan Timor. Mereka memandang diri ”LEBIH” dari dua kepemimpinan Malaka terdahulu. Mereka mengklaim diri punya massa pendukung di semua pelosok Malaka dari pemilih pemula sampai pemilih yang tua-tua. Mungkin saja!

Baca Juga :   HAK IMUNITAS

Untuk mendukung penampilan mereka agar tampil lebih berwibawa, powerful,  agar tidak disebut ”calon kaleng-kaleng”, mereka mengkritik terang-terangan dua kepemimpinan, baik yang sekarang maupun yang terdahulu. Pemimpin yang sekarang dicap sebagai pemimpin ”serba bingung”, ”tukang mimpi, habis mimpi, bangun buat program sehingga semua programnya adalah program hasil mimpi…hasil dari mimpi itu adalah PIALA PENGHARGAAN…BRAND BERAS NONA MALAKA, BRAND FORE LAKATEU. sementara fakta di lapangan bercerita lain…”. Mereka sudah mempersiapkan Rancangan Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah Daerah Malaka, dan siap menyosialisasikan kepada masyarakat Malaka JAUH SEBELUM PILKADA digelar. Mereka tidak mau masyarakat Malaka menyebut mereka sebagai BUPATI – WAKIL BUPATI, tetapi cukup sebagai ”PENDAMPING dan FASILITATOR” masyarakat Malaka saja, sehingga terkesan lebih MERAKYAT.

Oh luar biasa HEBAT para pendatang baru yang BRILIAN! Belum apa-apa sudah berlagak HEBAT TIADA DUANYA!

SARAN PERSAUDARAAN MALAKA!

Menutup tulisan ini, saya mau sampaikan bebebrapa hal berikut. Anggap saja saran pribadi dari seorang SAUDARA asli Malaka, yang diterima SYUKUR, tidak diterima pun SYUKUR. Saya tidak punya kepentingan apa pun dengan saran-saran saya ini.

Pertama, kalau mau mencalonkan diri sebagai Bupati dan Wakil Bupati Malaka, silakan calonkan diri. Itu hak politik yang dimiliki oleh semua warga negara. Tak ada larangan konstitusional yang menghambat. Hanya, jangan OVER-ACTING dan OVER-CONFIDENCE. Berlakulah ’sewajarnya’ saja. Silakan maju, tetapi jangan ”arogan, sombong, angkuh, menganggap diri LEBIH dari yang lain.” Silakan ”NAIK TANGGA”, tetapi jangan dengan cara ”MENGINJAK DAN MENENDANG” orang lain ke bawah. Perilaku ini tidak ETIS. Dalam bahasa agama, perilaku model ini  disebut ”DOSA”….Dosa Politik! Dosa inilah yang melahirkan budaya RIVALITAS yang sedang bersemi di Malaka hingga membuat layu adat-budaya khas Malaka ”SABTE-SALADI, HAKNETER-HAKTAEK, HADOMI-HAKLARAN”.

Baca Juga :   Aroma Politik di Balik Lokasi RS Pratama Malaka

Kedua, KENALILAH SIAPA ANDA sampai warna-warni sumsum tulang anda, luar-dalam, dalam berbagai aspek….Tanyalah diri, ”DARI MANA SAYA BERASAL! Kalau anda seorang ANAK KANDUNG MALAKA, maka junjunglah adat budaya SABETE-SALADI, HAKNETER-HAKTAEK, HADOMI-HAKLARAN. Jangan ”SAI-KLADIK” (SALADI), keluar dari kandang, lalu berkeliaran tak tentu arah sambil menerjang ke kiri dan ke kanan, ke atas ke bawah. Sebab yang kautendang itu adalah SAUDARAMU SENDIRI, yang juga ASLI MALAKA. Di sinilah tampak salah satu KELEMAHAN BESAR para intelektual Malaka, yaitu ”TIDAK SALING MENDUKUNG”. Yang ada adalah ”saling mendiskreditkan, saling merendahkan, saling meremehkan”, karena menganggap diri ”LEBIH”, padahal sebenarnya tidak LEBIH-LEBIH amat. BIASA-BIASA saja. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh orang LUAR MALAKA untuk MERAUP SUARA orang Malaka dalam Pemilihan Umum, sehingga mereka-lah yang NAIK ke tingkat atas dan menikmati segala fasilitas tingkat ATAS, sementara orang Malaka merayap selama-lamanya. Lihatlah kenyataan real yang ada di Malaka : ”SIAPA anak Malaka yang berkibar di tingkat NASIONAL?”

Ketiga, didiklah pendukung-pendukung anda agar tahu cara yang bijak dalam mempromosi anda. Ingat! Kejatuhan seorang calon di mata masyarakat justru kerap datang dari keteledoran para pendukung dalam meng-iklan-kan anda sebagai junjungannya. Itulah yang biasanya terjadi dalam perhelatan politik Pilkada. Anda boleh memelihara ”HERDER”, tetapi latihlah herder-herder itu untuk menggonggong tetap waktu dengan suara gonggongan yang terdengar enak didengar dan menggembirakan, seperti Ebied G. Ade melantunkan lagunya yang terkenal itu : ”KITA MESTI TELANJANG…” Herder-herder ini dengan gonggongannya yang sumbang, di satu pihak, semakin mempercepat layunya adat-budaya khas Malaka, dan di pihak lain semakin mempersubur tumbuhnya budaya ”rivalitas” antara masyarakat Malaka.

Keempat, masyarakat Malaka yang mayoritas Kristen, entah Katolik atau Protestan, boleh MERINDUKAN DATANGNYA YESUS, Sang Pembebas dan Penebus, tetapi harus CERDAS dan JELI melihat : ”Betulkah yang datang ini adalah YESUS ORINISIL yang ditunggu-tunggu kedatangannya?” Mengapa harus cerdas dan jeli? Karena, SETAN dapat berubah RUPA menjadi seperti YESUS… Dikira YESUS, padahal SETAN KEPARAT! Semoga! ***